Sabtu, 24 November 2012

PBB P2


A. PENDAHULUAN
Wacana pengalihan PBB sebenarnya sudah bergulir sejak tahun 60-an, ketika masa Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) masih dalam lingkup Direktorat Jenderal Moneter. Namun karena kondisinya kurang kondusif alias momennya kurang tepat, maka baru pada tanggal 15 September 2009, pemerintah mengakomodasi keinginan pengalihan PBB tersebut dengan  mengesahkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (PDRD), yang secara resmi telah berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
Kehadiran UU PDRD tersebut akan menggantikan UU yang lama yaitu UU No. 18 Tahun 1997 tentang PDRD. Bagian Keenam Belas UU No. 28 Tahun 2009 mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2). Berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009 tentang  PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten/Kota sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan  PBB P2. Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 diatur oleh Menteri Keuangan bersama dengan Menteri Dalam Negeri (UU PDRD Pasal 182).
PBB (Pajak Bumi Versus Hak Atas Tanah)
Pengertian bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia (Pasal 1 UU PBB). Bumi, menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Dalam Ayat (5) disebutkan juga bahwa pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
Penggunaan istilah “bumi” pada pajak “bumi” dan bangunan berakibat pada siapa saja yang menjadi subjek pajak. Artinya, PBB dikenakan secara umum pada orang atau badan yang secara nyata a). Mempunyai suatu hak atas  bumi, dan/atau; b). “Memperoleh manfaat” atas bumi, dan/atau; c). “Memiliki”d)”Menguasai”, dan/atau; e) Memperoleh manfaat atas bangunan.
Seandainya, istilah “bumi”  diganti menjadi “hak atas tanah”, sehingga PBB berganti menjadi Pajak “Hak atas Tanah” dan Bangunan (PHTB), maka PBB dikenakan hanya kepada objek yang bersertifikat tanah saja, seperti sertifikat hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan dan hak milik satuan rumah susun.
Mengapa PBB P2 Dialihkan?
Seperti diketahui bahwa PBB yang dikelola oleh pemerintah pusat terbagi atas 5 (lima) sektor yaitu Sektor Perdesaan, Perkotaan, Perkebunan, Perhutanan/Kehutanan, dan Pertambangan. Namun dari ke 5 sektor tersebut, berdasarkan UU PDRD, yang dilimpahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Daerah hanya PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan saja (disingkat PBB P2). Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang argumentasi dibalik dialihkannya PBB P2 ke pemerintah Kabupaten/Kota.
Paling tidak ada 3 (tiga) alas an yang mendasari pengalihan PBB P2 ini, yakni :
1.        Objek PBB P2 tersebut  lokasinya berada di suatu daerah kabupaten/kota, dan aparat pemerintah daerah jelas lebih mengetahui dan lebih memahami karakteristik dari objek dan subjeknya sehingga kecil kemungkinan wajib pajak dapat menghindar dari kewajiban perpajakannya;
2.        Lokasi objek PBB sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan dapat bersifat lintas batas kabupaten dalam arti objek tersebut kemungkinan besar berada di dalam lebih dari satu kabupaten sehingga perlu koordinasi yang lebih intensif dalam menentukan NJOP perbatasan antar kabupaten yang bersangkutan. Koordinasi bisa tidak berjalan efektif apabila timbul sentiment kedaerahan, sehingga dapat menimbulkkan ketidakharmonisan penentuan  NJOP  daerah yang berbatasan;
3.        Objek PBB P2 terdiri dari berjuta-juta objek yang tersebar diseluruh wilayah Republik Indonesia dengan berbagai permasalahan yang cukup menyita perhatian pengelola PBB P2 tersebut, dengan kata lain pemerintah pusat ingin lebih berkonsentrasi dalam pemenuhan target penerimaan pajak pusat tanpa dibebani hal-hal yang mungkin sepele yang ditimbulkan oleh PBB P2.
DAMPAK PENGALIHAN PBB P2
Sebuah perubahan, tentu memiliki dampak. Pengalihan PBB P2 dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah juga memiliki dampak yang bersifat positif maupun negatif bagi pemerintah daerah. Dampak tersebut antara lain :
1. Dampak Positip
1.        Akurasi data objek dan subjek PBB P2, dapat lebih ditingkatkan karena aparat pemerintah daerah lebih menguasai wilayahnya apabila dibandingkan dengan aparat pemerintah pusat sehingga dapat meminimalisir pengajuan keberatan dari para wajib pajak PBB P2;
2.        Daerah memiliki kemampuan meningkatkan potensi PBB P2 dan BPHTB sepanjang penentuan NJOP selama ini oleh pemerintah pusat dinilai masih dibawah nilai pasar objek yang bersangkutan (optimalisasi NJOP);
3.        Pemberdayaan local taxing power, yaitu kewenangan penuh daerah dalam penentuan tarif dan pengelolaan administrasi pemungutan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas;
2. Dampak Negatif
1.        Peningkatan NJOP yang sama dengan nilai pasar dapat mengakibatkan naiknya ketetapan PBB yang jika tidak hati-hati akan dapat menimbulkan gejolak masyarakat;
2.        Penggunaan tarif maksimum guna meningkatkan potensi PBB P2 apabila tidak hati-hati dan dikaji secara mendalam dapat menimbulkan gejolak masyarakat karena penggunaan tarif maksimum dapat menaikkan PBB P2 sebesar tiga kali lipat;
3.        Dalam rangka pengelolaan PBB P2, pemerintah daerah harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal, baik untuk kemungkinan penambahan kantor dan pegawai baru maupun untuk melengkapi peralatan administrasi, komputerisasi dan pelatihan SDM;
4.        Kesenjangan penerimaan PBB P2 antar daerah makin menonjol karena disparitas potensi penerimaan pajak daerah lainnya. Daerah yang memiliki potensi penerimaan pajak daerah lainnya atau mengandalkan bagi hasil lain dari pemerintah pusat, cenderung mengabaikan pemungutan PBB P2 (karena sulit dan kompleks bahkan tidak dipungut) dan sebaliknya daerah yang semata-mata mengandalkan penerimaan PBB P2 kemungkinan akan menerapkan tarif yang maksimal guna menggenjot penerimaannya;
Pengalihan PBB P2 dapat mengakibatkan beragamnya kebijakan antara satu daerah dengan daerah lainnya, misalnya perbedaan tarif, NJOPTKP, dan NPOPTKP. Perbedaan tersebut berpotensi  mengakibatkan ketidakadilan baik bagi masyarakat wajib pajak, pelaku bisnis, maupun masyarakat pada umumnya.
PENUTUP
Dengan berlakunya UU PDRD, maka pemerintah daerah mau tidak mau, suka tidak suka harus melaksanakan amanat undang undang tersebut, karenanya Dinas Pendapatan daerah telah siap untuk melaksanakan pengalihan PBB P2 tersebut. Dalam proses pengalihan PBB P2 tersebut, paling tidak ada 3 (tiga) hal yang akan terus menjadi perhatian adalah
1.        Kebijakan NJOP yang mendasarkan pada konsistensi, kesinambungan dan keseimbangan antar wilayah.
2.        Kebijakan Tarif, NJOPTKP, NPOPTKP untuk dikaji dan terapkan dengan hati-hati agar  tidak menimbulkan gejolak masyarakat.
3.        Akurasi data objek dan subjek pajak dalam SPPT PBB tetap terjaga.

Melihat realita diatas, pengalihan PBB P2 ini bukanlah suatu proses yang singkat dan mudah. Semuanya penuh dengan tantangan. Tetapi, jika kita tidak persiapkan sejak sekarang maka kita akan jauh tertinggal. Apapun resikonya, pengalihan PBB P2 menjadi harga mati bagi Dinas pendapatan daerah di tahun ini. Dalam hal ini, kerjasama dan transparansi dalam penyampaian data PBB P2 menjadi titik tolak yang baik untuk dalam proses pengalihan PBB P2. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar