A. PENDAHULUAN
Wacana pengalihan PBB sebenarnya sudah bergulir sejak
tahun 60-an, ketika masa Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) masih dalam lingkup
Direktorat Jenderal Moneter. Namun karena kondisinya kurang kondusif alias
momennya kurang tepat, maka baru pada tanggal 15 September 2009, pemerintah
mengakomodasi keinginan pengalihan PBB tersebut dengan mengesahkan UU No.
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (PDRD), yang secara
resmi telah berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
Kehadiran UU PDRD tersebut akan menggantikan UU yang
lama yaitu UU No. 18 Tahun 1997 tentang PDRD. Bagian Keenam Belas UU No. 28
Tahun 2009 mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
(PBB P2). Berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, maka sejak
tanggal 1 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten/Kota sudah diperbolehkan untuk
menerima pengalihan PBB P2. Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 diatur
oleh Menteri Keuangan bersama dengan Menteri Dalam Negeri (UU PDRD Pasal 182).
PBB (Pajak Bumi Versus
Hak Atas Tanah)
Pengertian bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi
yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman
serta laut wilayah Indonesia (Pasal 1 UU PBB). Bumi, menurut UU No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 1 ayat (4) disebutkan
bahwa pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi
dibawahnya serta yang berada dibawah air. Dalam Ayat (5) disebutkan juga bahwa
pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
Penggunaan istilah “bumi” pada pajak “bumi” dan
bangunan berakibat pada siapa saja yang menjadi subjek pajak. Artinya, PBB
dikenakan secara umum pada orang atau badan yang secara nyata a). Mempunyai suatu hak atas bumi,
dan/atau; b). “Memperoleh manfaat” atas bumi, dan/atau; c). “Memiliki”; d)”Menguasai”,
dan/atau; e) Memperoleh manfaat atas bangunan.
Seandainya, istilah “bumi” diganti menjadi “hak
atas tanah”, sehingga PBB berganti menjadi Pajak “Hak atas Tanah” dan Bangunan
(PHTB), maka PBB dikenakan hanya kepada objek yang bersertifikat tanah saja,
seperti sertifikat hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak
pengelolaan dan hak milik satuan rumah susun.
Mengapa PBB P2
Dialihkan?
Seperti diketahui bahwa PBB yang dikelola oleh pemerintah
pusat terbagi atas 5 (lima) sektor yaitu Sektor Perdesaan, Perkotaan,
Perkebunan, Perhutanan/Kehutanan, dan Pertambangan. Namun dari ke 5 sektor
tersebut, berdasarkan UU PDRD, yang dilimpahkan pengelolaannya kepada
Pemerintah Daerah hanya PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan saja (disingkat PBB
P2). Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang argumentasi dibalik
dialihkannya PBB P2 ke pemerintah Kabupaten/Kota.
Paling tidak ada 3 (tiga) alas an yang mendasari
pengalihan PBB P2 ini, yakni :
1.
Objek PBB P2 tersebut lokasinya berada di suatu
daerah kabupaten/kota, dan aparat pemerintah daerah jelas lebih mengetahui dan
lebih memahami karakteristik dari objek dan subjeknya sehingga kecil
kemungkinan wajib pajak dapat menghindar dari kewajiban perpajakannya;
2.
Lokasi objek PBB sektor Perkebunan, Perhutanan, dan
Pertambangan dapat bersifat lintas batas kabupaten dalam arti objek tersebut
kemungkinan besar berada di dalam lebih dari satu kabupaten sehingga perlu
koordinasi yang lebih intensif dalam menentukan NJOP perbatasan antar kabupaten
yang bersangkutan. Koordinasi bisa tidak berjalan efektif apabila timbul
sentiment kedaerahan, sehingga dapat menimbulkkan ketidakharmonisan
penentuan NJOP daerah yang berbatasan;
3.
Objek PBB P2 terdiri dari berjuta-juta objek yang
tersebar diseluruh wilayah Republik Indonesia dengan berbagai permasalahan yang
cukup menyita perhatian pengelola PBB P2 tersebut, dengan kata lain pemerintah
pusat ingin lebih berkonsentrasi dalam pemenuhan target penerimaan pajak pusat
tanpa dibebani hal-hal yang mungkin sepele yang ditimbulkan oleh PBB P2.
DAMPAK PENGALIHAN PBB
P2
Sebuah perubahan, tentu memiliki dampak. Pengalihan
PBB P2 dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah juga memiliki dampak yang
bersifat positif maupun negatif bagi pemerintah daerah. Dampak tersebut antara
lain :
1. Dampak Positip
1.
Akurasi data objek dan subjek PBB P2, dapat lebih
ditingkatkan karena aparat pemerintah daerah lebih menguasai wilayahnya apabila
dibandingkan dengan aparat pemerintah pusat sehingga dapat meminimalisir
pengajuan keberatan dari para wajib pajak PBB P2;
2.
Daerah memiliki kemampuan meningkatkan potensi PBB P2
dan BPHTB sepanjang penentuan NJOP selama ini oleh pemerintah pusat dinilai
masih dibawah nilai pasar objek yang bersangkutan (optimalisasi NJOP);
3.
Pemberdayaan local
taxing power, yaitu kewenangan penuh daerah dalam penentuan tarif
dan pengelolaan administrasi pemungutan untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas;
2. Dampak Negatif
1.
Peningkatan NJOP yang sama dengan nilai pasar dapat
mengakibatkan naiknya ketetapan PBB yang jika tidak hati-hati akan dapat
menimbulkan gejolak masyarakat;
2.
Penggunaan tarif maksimum guna meningkatkan potensi
PBB P2 apabila tidak hati-hati dan dikaji secara mendalam dapat menimbulkan
gejolak masyarakat karena penggunaan tarif maksimum dapat menaikkan PBB P2
sebesar tiga kali lipat;
3.
Dalam rangka pengelolaan PBB P2, pemerintah daerah
harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal, baik untuk kemungkinan penambahan
kantor dan pegawai baru maupun untuk melengkapi peralatan administrasi, komputerisasi
dan pelatihan SDM;
4.
Kesenjangan penerimaan PBB P2 antar daerah makin
menonjol karena disparitas potensi penerimaan pajak daerah lainnya. Daerah yang
memiliki potensi penerimaan pajak daerah lainnya atau mengandalkan bagi hasil
lain dari pemerintah pusat, cenderung mengabaikan pemungutan PBB P2 (karena
sulit dan kompleks bahkan tidak dipungut) dan sebaliknya daerah yang
semata-mata mengandalkan penerimaan PBB P2 kemungkinan akan menerapkan tarif
yang maksimal guna menggenjot penerimaannya;
Pengalihan PBB P2 dapat mengakibatkan beragamnya
kebijakan antara satu daerah dengan daerah lainnya, misalnya perbedaan tarif,
NJOPTKP, dan NPOPTKP. Perbedaan tersebut berpotensi mengakibatkan
ketidakadilan baik bagi masyarakat wajib pajak, pelaku bisnis, maupun masyarakat
pada umumnya.
PENUTUP
Dengan berlakunya UU PDRD, maka pemerintah daerah mau
tidak mau, suka tidak suka harus melaksanakan amanat undang undang tersebut,
karenanya Dinas Pendapatan daerah telah siap untuk melaksanakan pengalihan PBB
P2 tersebut. Dalam proses pengalihan PBB P2 tersebut, paling tidak ada 3 (tiga)
hal yang akan terus menjadi perhatian adalah
1.
Kebijakan NJOP yang mendasarkan pada konsistensi,
kesinambungan dan keseimbangan antar wilayah.
2.
Kebijakan Tarif, NJOPTKP, NPOPTKP untuk dikaji dan
terapkan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan gejolak masyarakat.
3.
Akurasi data objek dan subjek pajak dalam SPPT PBB
tetap terjaga.
Melihat realita diatas, pengalihan PBB P2 ini bukanlah
suatu proses yang singkat dan mudah. Semuanya penuh dengan tantangan. Tetapi,
jika kita tidak persiapkan sejak sekarang maka kita akan jauh tertinggal.
Apapun resikonya, pengalihan PBB P2 menjadi harga mati bagi Dinas pendapatan
daerah di tahun ini. Dalam hal ini, kerjasama dan transparansi dalam
penyampaian data PBB P2 menjadi titik tolak yang baik untuk dalam proses
pengalihan PBB P2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar